Di sore hari yang sedikit suram karena hujan, saya duduk di teras depan sebuah kantor kecil. Ditemani secangkir kopi yang tak lagi panas, sebatang rokok terakhir dan seorang teman yang baru saya kenal bernama Dion. Sebut saja dia Mas Dion.
Ajaib sekali teman yang baru saya kenal ini. Hanya dalam 5 menit, saya sudah terpukau karena gaya bicaranya yang cerdas dan lantang. Dalam 20 menit, saya luluh akan keluasan wawasannya yang tak terbatas. Dalam 45 menit, saya pun mulai keringat dingin dan sedikit mual. Dalam 2 jam, saya pun akhirnya benar-benar merasa menjadi manusia tanpa kredibilitas apapun. Luluh lantah. Ya, Mas Dion telah memperkosa saya (bukan dalam artian sebenarnya).
Mas Dion, benar-benar manusia dengan banyak ilmu, dari yang ilmu pasti, ilmu tidak pasti, sampai ilmu yang dipasti-pastikan. Saya berani bertaruh, bahwa orang seperti dia pasti bisa menebak dari jarak 2 meter, apakah itu semut jantan atau betina. Namun berbeda dengan Alm. Bapak Tino Sidin yang suka meng-"like this"-kan karya ataupun pemikiran murid-muridnya untuk mengobarkan semangat mereka. Sedangkan Mas Dion sebaliknya, ilmu-nya banyak namun membuat lawan bicaranya merasakan sensasi ketololan pribumi pada masa tanam paksa. Mas Dion seperti replika kolonialisme Belanda dalam satu tubuh manusia
Ajaib sekali teman yang baru saya kenal ini. Hanya dalam 5 menit, saya sudah terpukau karena gaya bicaranya yang cerdas dan lantang. Dalam 20 menit, saya luluh akan keluasan wawasannya yang tak terbatas. Dalam 45 menit, saya pun mulai keringat dingin dan sedikit mual. Dalam 2 jam, saya pun akhirnya benar-benar merasa menjadi manusia tanpa kredibilitas apapun. Luluh lantah. Ya, Mas Dion telah memperkosa saya (bukan dalam artian sebenarnya).
Mas Dion, benar-benar manusia dengan banyak ilmu, dari yang ilmu pasti, ilmu tidak pasti, sampai ilmu yang dipasti-pastikan. Saya berani bertaruh, bahwa orang seperti dia pasti bisa menebak dari jarak 2 meter, apakah itu semut jantan atau betina. Namun berbeda dengan Alm. Bapak Tino Sidin yang suka meng-"like this"-kan karya ataupun pemikiran murid-muridnya untuk mengobarkan semangat mereka. Sedangkan Mas Dion sebaliknya, ilmu-nya banyak namun membuat lawan bicaranya merasakan sensasi ketololan pribumi pada masa tanam paksa. Mas Dion seperti replika kolonialisme Belanda dalam satu tubuh manusia