Siang ini hall terasa sangat panas dan penuh asap rokok. Penonton menyesaki ruangan, sambil berteriak memberikan semangat. Tidak ada satu tempat duduk pun yang terisi, semuanya berdiri. Mereka menyaksikan pertarungan di dalam ring. Begitu banyak orang di kota ini menyukai tinju, sebuah pertandingan gladiator dijaman modern. Pertandingan hari ini menampilkan seorang petinju amatir melawan petinju dari kota sebelah, yang juga pemegang gelar juara. Si amatir adalah tuan rumahnya.
Saya adalah dokter, baru disewa hari ini oleh si petinju amatir, khusus untuk pertandingan hari ini. Saya pun juga dokter yang amatir, yang belum pernah menjadi dokter untuk pertandingan tinju. Saya berdiri di pinggir ring. Menyaksikan si amatir dengan tangguh melawan si pemegang juara. Hantaman demi hantaman. Saya mulai berpikir, bahwa manusia punya kecenderungan menikmati ketika melihat manusia lain mengalamai penderitaan. Seperti kemarin sore di perempatan jalan, saya melihat ada kecelakaan, mobil menghantam motor. Ramai sekali orang mengelilinginya, tetapi hanya lima orang yang menolongnya. Sisanya hanya menonton, menerka, si korban hidup atau mati. Ya, penderitaan menjadi semacam tontonan drama, bagaimana dan dengan cara apa si korban akan bertahan hidup. Jika si korban hidup, kita akan merasa senang, jika ternyata mati, toh kita akan merasa lega karena bukan diri kita yang mengalami kecelakaan. Penderitaan adalah tontonan drama, yang membuat kita yang menontonnya merasa menjadi manusia superior. Seperti menyaksikan laga pertempuran di atas ring sekarang ini.
Sekarang sudah ronde ke-empat, terlihat perbedaan teknik dan kekuatan antara si amatir dan si pemegang juara. Si amatir terlihat mulai terdesak. Si pemegang juara bergerak melayang-layang seperti kupu-kupu, dan melancarkan pukulan cepat layaknya sengatan lebah. Si amatir masih bertahan dengan double covernya. Penonton menjadi semakin riuh. Pukulan bertubi-tubi dari si pemegang juara masih ditahannya, sampai akhirnya uppercut keras menghantam mulutnya. Ia terjatuh ke lantai ring. Wasit mulai menghitung, tak sampai hitungan ke-empat si amatir sudah bangkit.
Pada ronde ke-enam, si amatir semakin terdesak di pojokan ring. Penonton bergemuruh, menjadikan ruangan semakin panas. Dua hantaman berturut-turut mendarat di mata sebelah kiri si amatir. Untuk yang kedua kalinya ia terjatuh. Namun kali ini ia tidak bangun hingga hitungan terkahir. Saya pun segera melompat masuk kedalam ring. Si amatir kalah di kotanya sendiri, di tengah sorakan pendukungnya.
Si pemegang juara bersorak-sorak, merayakan kemenangan.
.....
Dirinya terbaring di ruang istirahat, dan terlihat mulai terbangun dari pingsan. Bibirnya, dan kedua pelipisnya sobek. Namun yang paling parah adalah mata sebelah kirinya, membengkak sampai-sampai matanya tidak mau terbuka. Ia segera bangkit, dan duduk bersandar di tembok, menghadap jendela yang kala itu sedang diguyur hujan. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa kami berdua. Saya menawarinya sebatang rokok. Ia pun mengambilnya, menghisapnya.
Setelah berdiam beberapa saat, ia mulai berbicara, suaranya berat dan tenang.
"Hey Dok, saya tau ini kali pertama kau menjadi dokter dalam pertandingan tinju, tanganmu terlihat gemetar ketika mengobati luka-luka. Setelah pertandingan tadi, apa pendapatmu tentang tinju, Dok?"
"Hmm.. Buat saya, tinju hanyalah suatu bisnis usaha pertunjukan hiburan, dengan darah. Kau, petinju amatir, pasti juga berpikir seperti itu bukan."
Kemudian ia setengah tersenyum. Matanya masih sedikit mengeluarkan darah.
"Hehe.. Dok, bagi saya tinju seperti kontes balet, namun tidak ada musik, tidak ada koreografi, dan para penarinya hanya saling memukul, menembus batas daya tahan tubuh, menembus batas tulang rusuk yang patah, menembus batas dari ginjal yang remuk, menembus batas dari retina yang terlepas. Itulah perbedaanya, kami mempertaruhkan semuanya, hanya untuk sebuah mimpi yang tidak dapat terlihat oleh siapapun, kecuali oleh diri kami sendiri. Kami hanyalah penari balet yang sedikit kasar."
Entah mimpi apa yang dimaksud, saya hanya berpikir bahwa mereka hanyalah seorang yang tidak diberkahi kemampuan apa pun untuk bertahan hidup di dunia ini, kecuali kemampuan bertarung, sebuah kemampuan yang paling primitif. Sehingga mereka menjadi seorang petinju, untuk membeli makan.
"Dok, Muhammad Ali bertarung bukanlah untuk sekedar menjatuhkan lawan. Pertempurannya mempunyai tujuan. Ia ingin menang, agar orang-orang mendengar apa yang dia katakan. Kala itu tentang masalah ras. Ia punya mimpi, dan jadilah ia juara abadi. Selalu ada mimpi mulia di balik seorang lagenda, Dok."
"Ah, kau berbeda dengan Ali, kau hanya petinju amatiran, boy. Lihat saja, ketika kau terkapar di lantai, ketika tensi teriakan penonton sedang tinggi-tingginya meneriakan namamu, ketika itu pula istri mu meninggalkan hall. Kau bahkan baru saja kehilangan impian, kau kalah."
"Saya memang kalah, Dok. Tapi setidaknya saya bisa tahu bagaimana rasanya dikalahkan, membiarkan diri saya tenggelam ke dalam dasar jiwa, sehingga saya dapat muncul ke permukaan dengan tambahan beberapa ons kekuatan untuk menang di pertandingan selanjutnya. Dan istri saya, Dok. Saya melihat ia berjalan keluar hall tepat sebelum hantaman itu mengenai pelipis saya. Mungkin ia pulang untuk menyiapkan makan malam dan menanti saya pulang, Dok. Karena memang sudah waktunya makan malam."
Matanya kosong menatap jendela, nafasnya menjadi berat. Saya hanya diam mengamati si petinju amatir, yang entah pikirannya sedang kemana.
"Tapi, Dok. Jika istri saya terlalu letih untuk membuatkan makan malam, saya masih bisa membuat telur dadar yang enak. Setidaknya terasa enak di lidah saya sendiri."
Kemudian matanya terpejam, entah rasa sakit yang mana yang sedang ia rasakan. Saya tau ia adalah orang yang tangguh. Ia menahan hantaman beruntun, pelipisnya sobek, bibirnya pecah, rusuknya retak. Fisiknya hancur menandakan ia kalah telak, tetapi tidak jiwanya.
"Kenapa kau tidak menyerah?" saya bertanya penasaran, "kau bisa saja menyerah pada ronde ke-empat, ketika kau jatuh mencium ring untuk yang pertama kali. Sehingga kau tak perlu mendapat luka sebanyak ini, sampai-sampai mata kirimu tidak mau terbuka."
"Sama halnya dengan kehidupan, Dok. Tinju adalah kehidupan dengan skala yang terkecil. Selalu ada perbedaan antara pecundang dan sang juara. Seorang pecundang akan mundur dan lari saat menerima pukulan, tapi tidak sang juara. Sang juara tidak akan peduli berapa pun pukulan yang dia terima. Ia akan terus maju. Dan saya tau, berada dimana posisi saya. Saya tau saya akan kalah, tetapi saya masih bisa memilih dengan cara seperti apa saya kalah. Ini lah pilihan saya, Dok. Sehingga saya masih bisa menghargai diri saya sendiri dikemudian hari."
Ruangan menjadi hening setelah itu. Hujan sudah berhenti, dan kami berdua memutuskan untuk pulang. Ketika keluar dari hall, malam ini terasa sangat dingin. Kami berpamitan, saya memutuskan ini yang pertama dan terakhir untuk menjadi dokter di pertandingan tinju. Si petinju amatir mengucapkan terima kasih dan katanya saya akan menjadi dokter yang hebat dikemudian hari. Di depan pintu hall kami berpisah, ia berjalan ke arah kanan, dan saya ke arah kiri. Setelah beberapa langkah berjalan, saya menghentikan langkah dan melihat kebelakang. Terlihat si petinju amatir sedang tertatih berjalan sambil membopong tasnya, tidak ada limousine, tidak ada karpet merah, tidak ada hujan blitz kamera, yang ada hanya seorang anak kecil yang sedang meminta tanda tangan. Dan si amatir tampak melayaninya.
.....
Sudah tiga tahun sejak kejadian tersebut. Sekarang saya menjadi dokter ternama di rumah sakit yang juga ternama. Kegiatan hari ini adalah keliling check-up pasien. Jujur saja, saya tidak tertarik lagi dan memang tidak pernah tertarik dengan dunia tinju. Kejadian tiga tahun lalu dengan si petinju amatir sudah saya lupakan. Namun hari ini saya mendapat hentakan yang mengingatkan saya kembali dengan si amatir. Dilembar koran yang di bawa oleh seorang pasien, saya mambaca iklan, tentang pertarungan antara si amatir dengan si pemegang juara dari kota sebelah. Rematch ! pada Minggu sore di hall yang sama. Sekaranglah saya menjadi manusia yang superior. Saya segera membeli dua tiket untuk menyaksikan pertandingan tersebut dengan istri. Dua tiket di kursi yang paling VIP.
Saya adalah dokter, baru disewa hari ini oleh si petinju amatir, khusus untuk pertandingan hari ini. Saya pun juga dokter yang amatir, yang belum pernah menjadi dokter untuk pertandingan tinju. Saya berdiri di pinggir ring. Menyaksikan si amatir dengan tangguh melawan si pemegang juara. Hantaman demi hantaman. Saya mulai berpikir, bahwa manusia punya kecenderungan menikmati ketika melihat manusia lain mengalamai penderitaan. Seperti kemarin sore di perempatan jalan, saya melihat ada kecelakaan, mobil menghantam motor. Ramai sekali orang mengelilinginya, tetapi hanya lima orang yang menolongnya. Sisanya hanya menonton, menerka, si korban hidup atau mati. Ya, penderitaan menjadi semacam tontonan drama, bagaimana dan dengan cara apa si korban akan bertahan hidup. Jika si korban hidup, kita akan merasa senang, jika ternyata mati, toh kita akan merasa lega karena bukan diri kita yang mengalami kecelakaan. Penderitaan adalah tontonan drama, yang membuat kita yang menontonnya merasa menjadi manusia superior. Seperti menyaksikan laga pertempuran di atas ring sekarang ini.
Sekarang sudah ronde ke-empat, terlihat perbedaan teknik dan kekuatan antara si amatir dan si pemegang juara. Si amatir terlihat mulai terdesak. Si pemegang juara bergerak melayang-layang seperti kupu-kupu, dan melancarkan pukulan cepat layaknya sengatan lebah. Si amatir masih bertahan dengan double covernya. Penonton menjadi semakin riuh. Pukulan bertubi-tubi dari si pemegang juara masih ditahannya, sampai akhirnya uppercut keras menghantam mulutnya. Ia terjatuh ke lantai ring. Wasit mulai menghitung, tak sampai hitungan ke-empat si amatir sudah bangkit.
Pada ronde ke-enam, si amatir semakin terdesak di pojokan ring. Penonton bergemuruh, menjadikan ruangan semakin panas. Dua hantaman berturut-turut mendarat di mata sebelah kiri si amatir. Untuk yang kedua kalinya ia terjatuh. Namun kali ini ia tidak bangun hingga hitungan terkahir. Saya pun segera melompat masuk kedalam ring. Si amatir kalah di kotanya sendiri, di tengah sorakan pendukungnya.
Si pemegang juara bersorak-sorak, merayakan kemenangan.
.....
Dirinya terbaring di ruang istirahat, dan terlihat mulai terbangun dari pingsan. Bibirnya, dan kedua pelipisnya sobek. Namun yang paling parah adalah mata sebelah kirinya, membengkak sampai-sampai matanya tidak mau terbuka. Ia segera bangkit, dan duduk bersandar di tembok, menghadap jendela yang kala itu sedang diguyur hujan. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa kami berdua. Saya menawarinya sebatang rokok. Ia pun mengambilnya, menghisapnya.
Setelah berdiam beberapa saat, ia mulai berbicara, suaranya berat dan tenang.
"Hey Dok, saya tau ini kali pertama kau menjadi dokter dalam pertandingan tinju, tanganmu terlihat gemetar ketika mengobati luka-luka. Setelah pertandingan tadi, apa pendapatmu tentang tinju, Dok?"
"Hmm.. Buat saya, tinju hanyalah suatu bisnis usaha pertunjukan hiburan, dengan darah. Kau, petinju amatir, pasti juga berpikir seperti itu bukan."
Kemudian ia setengah tersenyum. Matanya masih sedikit mengeluarkan darah.
"Hehe.. Dok, bagi saya tinju seperti kontes balet, namun tidak ada musik, tidak ada koreografi, dan para penarinya hanya saling memukul, menembus batas daya tahan tubuh, menembus batas tulang rusuk yang patah, menembus batas dari ginjal yang remuk, menembus batas dari retina yang terlepas. Itulah perbedaanya, kami mempertaruhkan semuanya, hanya untuk sebuah mimpi yang tidak dapat terlihat oleh siapapun, kecuali oleh diri kami sendiri. Kami hanyalah penari balet yang sedikit kasar."
Entah mimpi apa yang dimaksud, saya hanya berpikir bahwa mereka hanyalah seorang yang tidak diberkahi kemampuan apa pun untuk bertahan hidup di dunia ini, kecuali kemampuan bertarung, sebuah kemampuan yang paling primitif. Sehingga mereka menjadi seorang petinju, untuk membeli makan.
"Dok, Muhammad Ali bertarung bukanlah untuk sekedar menjatuhkan lawan. Pertempurannya mempunyai tujuan. Ia ingin menang, agar orang-orang mendengar apa yang dia katakan. Kala itu tentang masalah ras. Ia punya mimpi, dan jadilah ia juara abadi. Selalu ada mimpi mulia di balik seorang lagenda, Dok."
"Ah, kau berbeda dengan Ali, kau hanya petinju amatiran, boy. Lihat saja, ketika kau terkapar di lantai, ketika tensi teriakan penonton sedang tinggi-tingginya meneriakan namamu, ketika itu pula istri mu meninggalkan hall. Kau bahkan baru saja kehilangan impian, kau kalah."
"Saya memang kalah, Dok. Tapi setidaknya saya bisa tahu bagaimana rasanya dikalahkan, membiarkan diri saya tenggelam ke dalam dasar jiwa, sehingga saya dapat muncul ke permukaan dengan tambahan beberapa ons kekuatan untuk menang di pertandingan selanjutnya. Dan istri saya, Dok. Saya melihat ia berjalan keluar hall tepat sebelum hantaman itu mengenai pelipis saya. Mungkin ia pulang untuk menyiapkan makan malam dan menanti saya pulang, Dok. Karena memang sudah waktunya makan malam."
Matanya kosong menatap jendela, nafasnya menjadi berat. Saya hanya diam mengamati si petinju amatir, yang entah pikirannya sedang kemana.
"Tapi, Dok. Jika istri saya terlalu letih untuk membuatkan makan malam, saya masih bisa membuat telur dadar yang enak. Setidaknya terasa enak di lidah saya sendiri."
Kemudian matanya terpejam, entah rasa sakit yang mana yang sedang ia rasakan. Saya tau ia adalah orang yang tangguh. Ia menahan hantaman beruntun, pelipisnya sobek, bibirnya pecah, rusuknya retak. Fisiknya hancur menandakan ia kalah telak, tetapi tidak jiwanya.
"Kenapa kau tidak menyerah?" saya bertanya penasaran, "kau bisa saja menyerah pada ronde ke-empat, ketika kau jatuh mencium ring untuk yang pertama kali. Sehingga kau tak perlu mendapat luka sebanyak ini, sampai-sampai mata kirimu tidak mau terbuka."
"Sama halnya dengan kehidupan, Dok. Tinju adalah kehidupan dengan skala yang terkecil. Selalu ada perbedaan antara pecundang dan sang juara. Seorang pecundang akan mundur dan lari saat menerima pukulan, tapi tidak sang juara. Sang juara tidak akan peduli berapa pun pukulan yang dia terima. Ia akan terus maju. Dan saya tau, berada dimana posisi saya. Saya tau saya akan kalah, tetapi saya masih bisa memilih dengan cara seperti apa saya kalah. Ini lah pilihan saya, Dok. Sehingga saya masih bisa menghargai diri saya sendiri dikemudian hari."
Ruangan menjadi hening setelah itu. Hujan sudah berhenti, dan kami berdua memutuskan untuk pulang. Ketika keluar dari hall, malam ini terasa sangat dingin. Kami berpamitan, saya memutuskan ini yang pertama dan terakhir untuk menjadi dokter di pertandingan tinju. Si petinju amatir mengucapkan terima kasih dan katanya saya akan menjadi dokter yang hebat dikemudian hari. Di depan pintu hall kami berpisah, ia berjalan ke arah kanan, dan saya ke arah kiri. Setelah beberapa langkah berjalan, saya menghentikan langkah dan melihat kebelakang. Terlihat si petinju amatir sedang tertatih berjalan sambil membopong tasnya, tidak ada limousine, tidak ada karpet merah, tidak ada hujan blitz kamera, yang ada hanya seorang anak kecil yang sedang meminta tanda tangan. Dan si amatir tampak melayaninya.
.....
Sudah tiga tahun sejak kejadian tersebut. Sekarang saya menjadi dokter ternama di rumah sakit yang juga ternama. Kegiatan hari ini adalah keliling check-up pasien. Jujur saja, saya tidak tertarik lagi dan memang tidak pernah tertarik dengan dunia tinju. Kejadian tiga tahun lalu dengan si petinju amatir sudah saya lupakan. Namun hari ini saya mendapat hentakan yang mengingatkan saya kembali dengan si amatir. Dilembar koran yang di bawa oleh seorang pasien, saya mambaca iklan, tentang pertarungan antara si amatir dengan si pemegang juara dari kota sebelah. Rematch ! pada Minggu sore di hall yang sama. Sekaranglah saya menjadi manusia yang superior. Saya segera membeli dua tiket untuk menyaksikan pertandingan tersebut dengan istri. Dua tiket di kursi yang paling VIP.
.....
Oleh : Boimin
Oleh : Boimin
8 komentar:
Sendu sekali, ya. Tetapi ada satu sebab yang membuat cerpen ini tidak terlalu istimewa meski mengusung banyak nilai psikologis 'pemenang yang legendaris adalah pemenang yang memiliki misi untuk disuarakan', 'kekalahan yang keren adalah kekalahan yang bisa memilih bagaimana caranya kalah', dll dan yang lain-lain etc et cetera.
Satu sebab itu adalah karena si penulis terlalu mengeksplisitkan maksudnya mengenai ceritanya. Semuanya begitu tersirat baik melalui deskripsi dan dialognya. Kesannya jadi tidak misterius. Tidak misterius berarti tidak begitu menarik pembaca untuk mencari tahu. Jadi seperti itulah.
Tapi ini bagus.
Nice story im. Ane suka nih cerita abang. Si amatirnya rasanya akrab. hehe.
btw! Si amatir merokok im, biasanya petinju dengan tekad mulia seperti dia tau, rokok bakal ngurangin ketahanan fisiknya. Atau mungkin ketika kondisinya kalah dia emg butuh rokok ya. Atau mungkin sekedar basa-basi saja, kebetulan emg dia bth tmn ngobrol ya. Atau mungkin si boimin yang perokok secara tidak sadar, merasuki si amatir, petinju yang selalu dipukul si pemegang juara tapi tidak mau menyerah. Best partnya, Rematch! Analisa ngawur. hehe. tapi kalo bener cerita2 lah im. hahaha.
Karena ada kritik, Dokter amatir sbg tmn si petinju amatir kalo boleh mau coba kasih saran : gmn kalo plotnya lo bikin kaya si alejandro gonzales inarritu, biar 'lebih menariknya' orang laen bisa dapet.
sabi nih im,agak beda dr tulisan2 lo sbelumnya..
menanggapi komentar panah hujan, mnurut gue bukan eksplisitnya yg ganggu, tp mungkin karena peletakan kalimat2 nendangnya terlalu padat d tengah, jdnya k blakang jd sepi, jd kurang lebih gue setuju ama saran dokter amatir bibima wong...wakakakaka...
@panah hujan: Terimakasih atas krtiknya. Cerpen ini memang tanpa telor.
@bimanirmala: Eh,si pak dokter amatir menemukan penyakitnya, "si petinju merokok, bahkan rokoknya dari si dokter", yah ini penulis mengaku benar-benar kecolongan salah. Namun penulis adalah dewa di dalam tulisannya, dan penulis bilang, "Yah, namanya juga mereka amatiran bos.." haha (alasan). thanx bro.
@Togeringo: Itu dia ge, sepi, sama kaya perasaan gue. huahaha... iya, ge, plotnya rada datar, kurang bikin jantung deg2an. Terlalu maksimalin ke kata2 n teori. thanx saranya. Btw, ini "Repetisi" yang bikin tulisan eike rada beda.
:vodkadingin: untuk kalian semua dari petinju amatir..
saya sangat suka dengan kehidupan para penari balet diluar sana, tanpa ring - riuh rendah sorakan penonton dan blitz kamera.
penari balet jalanan :)
kadang pilihan terdengar sedikit klise ya. tapi juga kadang pilihan ga ngasih kesempatan kita untuk memimilih. menjalani hidup dengan visi klasik pun bisa menjadi sebuah pilihan yang menyenangkan.
sukseskan sensus penduduk!!!
hidup ABRI!!!
hidup heiho !!
HIDUP!
ga nyangka gue laki-laki tepian kota ini dalem-dalem amat ya kayanya. heheu. *sok ngerti.
keep writing lah yaa.
Posting Komentar